Judul ini sangat puitis dan dalam, menggambarkan bahwa rumah sejati adalah seseorang, bukan hanya sebuah bangunan. Ini puisinya:
Rumah Bukan Lagi Sebuah Tempat Bagiku
Dulu, rumah bagiku adalah dinding dan atap,
tempat pulang dari segala penat dan hirap.
Ada bantal empuk, selimut yang hangat memeluk,
dan aroma kopi yang menenangkan saat merasuk.
Aku mencarinya di setiap sudut kota,
berharap menemukan damai di sana.
Namun seringkali yang kutemukan hanya sepi,
meski semua fasilitas tersedia rapi.
Lalu tatap matamu, seperti gerbang yang terbuka,
menyambut jiwaku tanpa syarat, tanpa duka.
Di sana, ada ketenangan yang tak pernah kutemu,
di antara bintang-bintang kecil yang bersamamu.
Rumah bukan lagi sebuah tempat bagiku.
Sejak aku menemukan kenyamanan di matamu.
Di sana ada kedamaian, ada kehangatan yang sejati,
tempat hatiku berlabuh, tanpa ragu dan tanpa henti.
Tak perlu lagi peta, tak perlu lagi alamat,
cukup tatapmu yang memancarkan selamat.
Sebab kini, "pulang" adalah pelukanmu,
dan "rumah" adalah dirimu.
Mengapa Puisi Ini Istimewa?
Metafora "Rumah": Menggambarkan pergeseran makna rumah dari fisik menjadi emosional dan personal.
Intimasi: Menekankan kedekatan dan rasa aman yang hanya ditemukan dalam tatapan mata pasangan.
Keabadian: Mengisyaratkan bahwa kenyamanan sejati melebihi batas ruang dan waktu.
